Kehidupan ini memang layak untuk dipertanyakan. Hidup ini begitu kejam. Masih banyak orang yang menderita karena kehidupan ini. Masih banyak orang yang belum benar-benar merdeka dari berbagai persoalan dalam hidupnya. Banyak yang harus berjuang untuk mempertahankan hidupnya. Harus berjuang dijajah dalam kemiskinan yang semakin merajalela dan tak manusiawi.
Seorang anak sudah seharusnya mendapatkan pendidikan yang cukup. Tugas seorang anak adalah belajar menuntut ilmu, bukannya malah bekerja. Dia tak mendapatkan haknya sebagai seorang anak. Hal ini sama seperti yang dialami seorang anak laki-laki bernama Rio. Dia terpaksa harus bekerja untuk menghidupi kehidupannya sehari-hari, sehingga dia tidak bisa bersekolah. Untuk makan sehari-hari saja sulit, bagaimana dia mau sekolah.
“Radit!” seru seorang anak laki-laki bernama Rio, memanggil temannya, sekaligus sudah seperti saudara baginya.
“Apaan sih, Rio?” tanya anak yang bernama Radit itu malas-malasan.
“Dapat berapa hari ini?” tanya Rio balik sambil mengusap keningnya yang berkeringat.
“Seperti biasanya, hanya beberapa lembar.”
“Dit, kamu pernah berpikir tidak sih? Kenapa ya hidup kita seperti ini! Aku ingin merasakan yang namanya sekolah, tapi itu hanya mimpi!”
“Inilah takdir hidup kita, tidak bisa protes! Kita hanya bisa terima dengan terpaksa!”
“Aku iri melihat anak-anak itu. Mereka sangat beruntung bisa sekolah dan hidup dengan layak. Tidak seperti kita!” ucap Rio sembari menunjuk serombongan anak sekolah seumurannya.
“Nggak usah mimpi tinggi-tinggi deh, nanti jatuhnya sakit sekali tahu!” ujar Radit tak mau mempedulikan perkataan Rio. Dia sibuk mengatur korang-koran yang dijualnya.
Rio sendiri tak begitu mendengar ucapan Radit. Matanya masih terfokus pada anak-anak sekolah yang sangat membuatnya iri.
Saat Rio masih memandangi anak-anak itu, salah satu dari anak sekolah itu tiba-tiba berjalan memisahkan diri dari temannya. Anak itu berjalan ke arah Rio dan Radit. Rio bingung melihat anak itu mendatanginya.
“Eh, lo!” seru anak itu dengan tinggi pada Rio.
Rio berdiri dari duduknya di samping Radit. Dia kaget anak itu bicara padanya. Radit juga tidak kalah kagetnya melihat anak itu.
“Ngapain lo ngeliatin gue terus? Naksir lo!” katanya lagi dengan sombongnya.
Dia pun memandangi Rio dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan pandangan jijik. Rambut Rio yang kusut, rambutnya kumal, bajunya kotor, dan tubuhnya kurus sekali. Anak itu bergidik jijik melihat Rio.
“Siapa juga yang ngeliatin loe? Kepedean banget lo!” kata Rio kesal melihat kesombongan anak di hadapannya itu.
Anak itu memang seorang perempuan. Pakaian seragamnya sangat rapih dan bersih. Dia pun sangat cantik. Terlihat sekali dari sikap dan tingkahnya, kalau dia anak orang kaya.
“Jangan mentang-mentang anak orang kaya bisa seenaknya! Nggak usah sombong deh!” kata Radit dengan sinisnya.
“Kalian tuh, yang nggak pantas ada di sini! Dasar anak jalanan!”
“Hei! Jangan kabur!” teriak seseorang sambil mengejar pedagang asongan.
“Gawat! Ayo kabur, Yo!” Radit langsung menarik tangan Rio, bergegas pergi dari tempat itu sebelum tertangkap petugas.
“Pak, di sini ada anak jalanan nih! Mereka mau kabur!” teriak anak perempuan berseragam itu membuat Rio dan Radit kesal sekali, karena beberapa petugas mendatangi mereka sebelum sempat lari.
“Bisa diam nggak sih lo?” kata Radit kesal.
“Kalian jangan kabur!” kata salah satu petugas yang berhasil menangkap Rio dan Radit.
“Lepas! Lepaskan kami, kami bukan anak jalanan!” Radit berusaha melepaskan diri dari petugas tersebut.
“Jelas-jelas kalian anak jalanan, ayo ikut ke penampungan untuk ditangani!” Petugas itu langsung menarik kedua anak jalanan yang meronta-ronta melepaskan dirinya.
“Bawa saja sana Pak, biar tidak merusak pemandangan!” kata anak perempuan tadi dengan sinis dan sombongnya.
“Awas lo, dasar gadis sombong!” teriak Rio tak terima pada anak perempuan kaya yang sombong itu.
***
Kantor penampungan dan penanganan anak jalanan, pedagang asongan, pengemis, dan semacamnya. Saat itu penuh sesak karena petugas baru saja berpatroli menangkap mereka. Anak jalanan seperti mereka dianggap meresahkan lingkungan, karena sering berkeliaran di jalanan. Seharusnya anak-anak seusia mereka mendapat hak yang layak mereka dapatkan, yaitu sekolah. Akan tetapi, mereka malah bekerja dan berkeliaran di jalanan. Orang tua mereka membiarkan mereka bekerja bukannya sekolah. Bahkan ada orang tua yang memaksa menyuruh mereka bekerja. Memang banyak juga anak jalanan yang sudah tak punya orang tua. Mereka harus menghidupi diri mereka dengan usahanya sendiri. Itulah mengapa mereka harus berada di jalanan, harus bekerja, bekerja, dan bekerja. Mungkin juga ini dikarenakan kehidupan mereka yang begitu miskin, mengharuskan anak-anak seperti mereka harus bekerja di jalanan. Itulah kejamnya dunia ini. Untuk anak jalanan yang masih mempunyai orang tua, mereka diperbolehkan pulang, dengan syarat orang tuanya datang mengambilnya. Karena memang anak itu masih menjadi kewajiban orang tuanya. Akan tetapi, bagi anak jalanan yang sudah tak mempunyai orang tua, mereka harus rela tinggal di penampungan anak jalanan itu yang sempit sekali.
Berbeda dengan pedagang asongan dan pengemis. Pedagang dihimbau untuk tidak berdagang disembarang tempat, karena memang sudah ada peraturannya. Mereka dilarang berjualan di jalanan, karena dapat menyebabkan kemacetan dan merusak lingkungan. Sedangkan pengemis disarankan petugas untuk tidak mengemis atau meminta-minta di jalanan lagi. Seharusnya mereka mencari pekerjaan yang layak daripada hanya meminta-minta saja.
“Dit, kenapa sih kita malah tertangkap! Kita nggak bakal bisa keluar dari sini!” bisik Rio pada Radit. Sudah dari tadi dia terlihat gelisah. Dia memang sangat tak suka berada di tempat itu. Tempat itu sangat sempit. Dia jauh lebih suka ada di jalanan daripada di tempat itu.
“Sabar deh, sebentar lagi bokap gue datang,” balas Radit dengan berbisik juga.
“Loe bisa keluar, tapi gue? Gue nggak akan bisa keluar!”
“Tenang saja, loe juga bisa keluar bareng gue kok.”
Rio masih belum bisa tenang. Dia takut kalau Radit bisa keluar, tapi dirinya tidak. Temannya itu masih sangat beruntung daripada dirinya, karena dia masih mempunyai seorang ayah. Sedangkan dirinya sudah tidak punya orang tua, keluarga pun tak punya. Selama ini dirinya tinggal bersama Radit dan ayahnya.
“Mana yang namanya Radit dan Rio? Kalian boleh pulang, karena orang tuanya sudah datang!” ujar seorang petugas.
“Kami Pak!” seru Radit senang, akhirnya bisa keluar juga dari tempat meyebalkan itu. “Ayo Rio!”
“Emangnya gue juga boleh keluar, Dit?” tanya Rio agak ragu.
“Loe dengar sendiri kan, ‘Radit dan Rio sudah boleh pulang’. Berarti loe juga ikut keluar.”
“Tapi….”
“Udahlah, nggak usah banyak mikir! Mau keluar dari tempat menyebalkan ini, nggak? Kalau nggak mau, ya nggak apa-apa!”
“Iya, iya pasti maulah!”
Rio dan Radit langsung keluar dari ruangan tempat penampungan anak jalanan yang tertangkap saat tadi ada operasi. Mereka sama sekali sudah tidak betah lama-lama di tempat sekecil itu. Padahal anak-anaknya banyak, tapi tempatnya malah sempit dan kecil.
“Alhamdulillah, Bapak datang cepat. Kita udah nggak tahan di tempat itu lama-lama!” ungkap Radit setelah bertemu dengan Ayahnya dan keluar dari kantor penampungan itu.
Ayah Radit langsung menjitak kepala Radit cukup keras, membuat Radit kesakitan memegang kepalanya.
“Bagaimana sih kalian? Kenapa bisa tertangkap? Biasanya kalian selalu lolos dari kejaran petugas! Dasar payah!”
“Aduh, tadi itu gara-gara ada anak orang kaya sombong, kita jadi tertangkap deh!” gerutu Radit mengingat anak perempuan sombong tadi.
Sedari tadi rio hanya diam, tak mengeluarkan suara sedikit pun. Entah apa yang terjadi pada dirinya. Rio dan Radit bisa saling mengenal sejak 3 tahun yang lalu, saat usia mereka 9 tahun. Saat itu Radit tak sengaja melihat Rio sedang menangis sendirian di stasiun kereta. Radit mendatanginya dengan membawa karung berisi gelas-gelas bekas untuk dijualnya kembali. Entah karena apa Rio ditinggal orang tuanya. Radit tak tgea meninggalkannya sendirian. Radit pun membawanya pulang ke rumah. Ayah Radit juga ikut senang dengan kedatangan Rio. Ia menganggap Rio seperti anaknya sendiri. Radit pun begitu, dia telah menganggap Rio saudaranya sendiri.
“…Kenapa loe dan bokap loe begitu baik sama gue? Kenapa kalian mau menampung gue, padahal hidup kalian sendiri sudah susah! Apalagi ditambah gue, padahal gue bukan siapa-siapa kalian!”
“Kenapa bicara seperti itu sih, Yo?” Radit agak marah karena Rio berkata seperti itu. “Gue udah menganggap loe seperti saudara gue sendiri. Kita udah hidup susah bersama selama 3 tahun. Apa itu belum cukup menunjukkan kalau lo itu bagian dari keluarga gue? Apa lo masih menganggap gue dan Bapak orang asing buat lo?”
“Bukan begitu, Dit. Hanya saja gue merasa nggak enak. Gue selalu menyusahkan kalian. Apalagi saat tadi di penampungan anak jalanan. Bokap lo harus berbohong sama petugas, padahal gue bukan anak bokap lo. Gue bukannya membantu kalian, gue malah menyusahkan kalian. Gue….” Perkataan Rio dipotong oleh Ayah Radit.
“Kamu sama sekali tidak menyusahkan Bapak dan Radit. Bapak sudah menganggapmu sebagai anak sendiri, seperti Radit. Bapak malah senang karena tidak kesepian tinggal hanya berdua dengan Radit. Sejak kedatanganmu, rumah kardus ini jadi ramai. Apalagi dengan kecerewetan dan tingkahmu yang tidak bisa diam, membuat Bapak terhibur. Kalau Radit, mana bisa sepertimu,” ucap Ayah Radit sambil mengelus rambut Rio dengan lembut.
Memang di dunia ini banyak yang tak sesuai dengan harapan. Meskipun mereka hanya orang miskin, orang yang tak punya apa-apa, tapi mereka sudah cukup senang hidup di dunia ini. Walaupun mereka belum mengenal sebelumnya. Bagi mereka kehidupan ini sangat berarti hanya dengan ketulusan hati, walau mereka tak memiliki apa-apa.
Oleh: Delia Fitri Sarah (TGP/Penerbitan 4F)
0 comments:
Posting Komentar