“Sy, kau tahu tidak? Kak
Avin baru saja mengundangku makan malam di rumahnya!!! Menurutmu apa maksud
dibalik itu?”
“Serius? Ah kau sangat
beruntung, Di. Hmm, menurut artikel yang pernah aku baca, ada kemungkinan dia
akan sangat serius sama kau! Mungkin saja dia ingin memperkenalkanmu ke kedua
orang tuanya! Aiiih, itu berita yang sangat bagus. Kapan harinya?”
“Hmm, akhir pekan minggu
ini, Sy. Aku masih tidak percaya atas ajakan Kak Avin tadi pagi…” kedua bola
mata Dinari berbinar-binar. Ada raut kebahagiaan luar biasa terpancar dari
sana. Aku turut bahagia. “Oh iya, lalu bagaimana hubunganmu dengan Kak Feji?
Ada kemajuankah?”
Perlahan-lahan dapat
dipastikan Dinari melihat perubahan raut wajahku. “Ya, seperti biasanya,” jawabku seperlunya,
mencoba tetap tersenyum walau mungkin terlihat sangat kecut.
“Kau yakin? Hey, Sy!
Sudah berapa lama kita bersahabat? Aku mengenalmu. Cerita padaku kalau ada
masalah…” Dinari menggeser posisi duduknya mendekat ke arahku.
“Entahlah, Di. Mungkin
aku sudah sangat jenuh. Aku tidak mundur, tapi majupun juga tidak. Aku dan dia
hanya diam di tempat…”
“Tanpa kepastian pula!” sahutnya memotong pembicaraanku. Aku menggigit bibir
bawahku, sedikit lebih keras. Kupikir itu bisa mengurangi sedikit rasa sakit di
dalam dadaku. “Kau akan bertahan sampai kapan? Kalau dia tidak mau memulai,
berarti kau yang harus memulai, Sy. Batu dan batu kalau sama-sama diam, jelas
tidak akan ada yang maju kan?”
Aku tertegun.
Berkali-kali Dinari menasihatiku dengan berbagai kalimat-kalimat yang justru
hanya semakin membuat aku bimbang. ‘Ada
hal lain, Di. Fakta lain yang baru saja terungkap. Aku ingin menceritakan ini
padamu, tapi kau tampak sangat bahagia hari ini. Aku tidak ingin merusaknya,’
desisku dalam hati. “Aku nggak tahu, Di…” ucapku, menatap Dinari yang sedang
menajamkan sorot matanya ke arahku.
“Entah kau ini bodoh atau
nggak, Sy. Tapi satu yang pasti, kau adalah orang pertama yang aku kenal, yang
bisa bertahan sama perasaanmu selama ini. Ya, aku akui kau cukup hebat. Tapi
kau tetap saja bodoh kalau tidak mau bergerak maju!”
“Kau tidak bisa menjamin
dia juga punya perasaan yang sama denganku kan, Di? Aku dan dia diikat perasaan
sepihak, Di. Aku yang mengikatnya, aku yang terikat sama perasaanku sendiri,
tapi perasaan dia bebas, bukan untukku, pasti…”
“Kau terlalu berpikiran
negatif, Sy!”
“Aku rasa itu fakta…” aku
menghela napas panjang. Sebentar memandang wajah Dinari kemudian menerawangkan
pandanganku ke arah langit dan kembali menghela napas. Sekilas teringat jelas
kata-kata yang aku tulis rapih di dalam buku catatan harianku tadi malam,
tentang Kak Feji.
***
18 Maret 2001
Halo, fighter! Masih berjuang di hati yang sama? Apa masih
akan tetap berjuang setelah tahu hal ini? Well, hari ini aku mendapat kabar
yang tidak cukup baik. Ternyata aku bukan adik satu-satunya Ji. Baru saja dia
cerita bahwa dia punya adik lain, di kota lain pula yang cukup jauh dari sini.
Ya, dia pernah cerita sebelumnya kalau dia punya banyak adik. Tapi aku mencoba
mengacuhkannya, berharap dia hanya bergurau belaka. Namun, hari ini smsanku
dengannya dimadu dengan adik lainnya ahahaha kau kenapa, Sy? Kau hanya adiknya,
kenapa menggunakan bahasa dimadu? Kau terlalu menyayanginya ya? Entah…
sebelumnya dia juga cerita, tentang adik lainnya di masa lalu. Katanya mereka
saling suka tapi entah bagaimana kelanjutannya. Dia tidak menceritakannya
terperinci lebih jelas. Dari kejadian itu, aku menarik kesimpulan menakutkan.
Ya, aku takut dia punya adik-adik lain lebih dari aku dan si adik yang hari ini
dia ceritakan. Dan entah adik mana yang ada dihatinya. Entah adik mana yang
bisa meluluhkan hatinya. Entah adik mana yang bisa membuatnya nyaman, seperti
dia yang bisa membuatku amat sangat nyaman. Ya, nyaman dan tidak mau
kehilangan. Aku tahu, aku bukan adik satu-satunya. Ada banyak kemungkinan dan
apakah ini bisa memaksaku menyerah atas perasaanku yang dari awal aku sadari
salah? Apa setelah ini aku trauma menjadi adik orang lain? Trauma untuk
menempatkan perasaan, takut salah bertahan seperti saat ini?
***
Aku hempaskan peraduanku
di senja yang entah mengapa begitu meronakan langit sore ini. Pikiranku
bermain-main, menelaah tentang apa yang disebut takdir dan jodoh. Bila bisa
sampai bertahan sejauh ini namun faktanya hati tidak terpaut, mungkin ini yang
namanya takdir.
Menjadi sebuah hal saat
apa yang kita harapkan ternyata menjadi harapan orang lain. Ah, sepenggal bait
lagu cinta pertama dan terakhir milik sherina terbesit dalam penggalauanku.
Sebelumnya
ku ikat hatiku
Hanya untuk
aku seorang
Sekarang
kau di sini hilang rasanya
Semua
bimbang tangis kesepian
Aku ingat sebuah cerita
masa lalu yang sebenarnya enggan aku hadirkan kembali. Tentang sebuah rasa
dimana adanya peninggalan bekas yang begitu mendalam sehingga membuatku takut
untuk kembali memulai hal yang sama. Tentang cinta, tentang kasih sayang,
tentang pengkhianatan dan tentang luka. Aku hanya terlanjur terlalu berbagi,
tanpa kejelasan. Namun ketika kejelasan status itu meminta, firasat memaksaku
untuk mengacuhkannya. Peraduan antara keinginan dan kenyataan membuatku
terhempas begitu jauh. Alhasil, kisah masa laluku menemui masa depannya dan aku
terkesan menyakiti diriku sendiri. Dia hanya suka bermain-main dengan perasaan
pasangannya.
Traumaku mengalir,
menjalar menyusun kepribadian baru. Namun entah takdir Tuhan macam apa,
perasaanku kembali diketuk oleh orang lain. Dia kakakku. Ya, kakak yang
merupakan teman sebayaku. Tanpa kompromi, kenyamanan dengannya mengalir,
menepikan traumaku karena kisah suram masa laluku. Sebulan, tiga bulan,
setahun, satu tahun delapan bulan, hingga kini berusia dua tahun tujuh bulan
kenyamanan bersamanya seperti menggunung. Aku meragu, namun perasaanku tampak
begitu nyata. Dan aku kembali meragu, apakah seluruh nama dan bayangnya dalam
thalamusku berujung menjadi solid di depan retinaku? Menjadi utuh? Menjadi
tampak sangat jelas dan enggan aku buyarkan kembali karena aku belum siap dan
entah akan menjadi siap seperti apa tanpa dia.
Kau buat
aku bertanya
Kau buat
aku mencari
Tentang
rasa ini
Aku tak
mengerti
Akankah
sama jadinya
Bila bukan
kamu
Lalu
senyummu menyadarkanku
Kau cinta
pertama dan terakhirku
***
“Sy, kekuatanku runtuh…”
“Kau kenapa, Di?”
“Aku merasakan adanya
ketidakcocokan antara aku dan Kak Avin setelah semakin sering aku berbincang
dengannya.”
“Lalu undangan makan
malam waktu itu? Jadi kan?”
“Ah, aku membatalkannya
dengan alasan aku sibuk. Tidak, tidak, kau tahu kita sangat sibuk dengan
tugas-tugas kita sebulan belakangan ini bukan? Dan, aku menjadikan itu sebagai
alasannya. Aku rasa, undangan waktu itu tidak ada maksud terselubung seperti
katamu. Faktanya, hatinya masih untuk mantan kekasihnya, Sy…”
Aku terdiam mendengar
ucapan panjang lebar dari Dinari. ‘Entah,
Di. Aku pun tidak pernah mengerti jalan pikiran laki-laki…’ ujarku dalam
hati. “Lalu kau akan berbuat apa?” tanyaku datar.
“Mungkin aku akan
menyerah, sebelum perasaan ini jatuh terlalu jauh…”
“Ya, kau benar. Mungkin
aku juga akan menyerah, Di…”
“Hey, kau ada masalah apa
lagi dengan Ji???” seru Dinari sambil membesarkan kedua matanya ke arahku yang
hanya mampu menatapnya sendu.
***
Dinari masih terus
memujiku hebat dapat bertahan dengan perasaan tanpa kejelasan sejauh ini. Ya,
mungkin dampak traumatik akan masa lalu berhasil membuatku takut memulai. Aku
telah mencoba dengan berkata jujur kepadanya. Namun satu hal yang aku pahami,
jujur tidak sama dengan meminta, bukan? Kami tetap berbincang seperti biasa, entah
bagaimana aku di matanya. Aku tidak pernah tahu dia memandangku dengan sudut
pandang seperti apa.
Aku mengacuhkan pendapat
Dinari. Dua tahun tujuh bulan hanya waktu yang sebentar jika sudut pandangnya
berorientasi pada masa depan. Meski pada kenyataannya, waktu selama itu cukup
banyak menimbun kenangan-kenangan yang sulit jika harus dihempaskan dan dikalahkan
oleh takdir dan jodoh.
Kami tetap seperti biasa.
Biasa seperti selama ini kami pernah kenal. Tidak ada kemajuan, tidak ada
kemunduran pula. Dua hal tersebut menimbulkan rasa takutnya sendiri. Ya, aku
takut untuk maju, takut belum cukup siap menerima kenyataan. Namun aku juga
takut untuk mundur disaat kenyamanan bersamanya selama ini menimbulkan dampak
yang luar biasa. Terlebih aku bukan orang yang bisa luwes cerita dan membuat
lelucon dengan orang lain meski hubungan kami dekat. Ya, bersamanya aku bisa
jadi diriku sendiri. Bersamanya aku bisa nyaman untuk saling berbagi.
Bila suatu
saat kau harus pergi
Jangan
paksa aku tuk cari yang lebih baik
Karena
senyummu menyadarkanku
Kaulah
cinta pertama dan terakhirku
Setetes air mata
mengalir, menggoda untuk mengalir lebih banyak lagi diiringi lagu cinta pertama
dan terakhir milik sherina yang sedang mengalun lewat playlist handphoneku.
Mataku membusuk perlahan karena air mataku sendiri. Sorot mataku tajam menatap
langit sore ini. Senja perlahan hadir, mengingatkanku pada senja liburanku saat
itu. Ketika rindu meluluhlantakkan pertahananku. Aku masih tetap terduduk
ditempat seolah menikmati keadaan ini. Kembali hatiku meragu, namun logikaku
pun turut berputar seiring bergejolaknya gemuruh dalam hati ini.
Aku ingat senja di sudut pantai
Yogyakarta saat itu. Namamu hadir, hembuskan sejuk dan hangat bersama ombak di
pesisir. Pijakku di atas pasir putih melebur dalam rindu. Jarakmu dekatkanku
pada langit memerah. Bersemu malu. Menatapku dengan relung hati merindu paling
dalam. Buah tangan itu telah aku sisihkan. Untuk kamu yang selalu merona saat
senja mulai menyapa. Hembus napasku untuk kesekian kalinya. Ada kamu di sana. Namun
aku terlalu lemah. Kekuatan pijakanku membawaku untuk menimbun buah tangan
untukmu. Biar senja yang tahu… Dan namamu akan selamanya jadi doa untukku. Semoga
suatu saat kau menyadari, doa untukmu dan rindu untukmu yang mungkin sudah
melebam saat itu.. – Tertanda,
adik tanpa ikatan darah pengakuanmu, pengakuan kita.
***
Dikirim Oleh: Chaisa Chairunnisa
Teknik Grafika Penerbitan, Desain Grafis 4B