Sejak dulu, Kota Tua merupakan tempat wisata sejarah yang sering
didatangi wisatawan. Mereka tidak hanya melakukan perjalanan sejarah, melainkan
melakukan wisata kuliner yang ada di sentral Jakarta itu. Kini, lingkungan
sekitar Kota Tua telah disulap menjadi kawasan seni dari berbagai macam jenis.
Pengunjung dimanjakan dengan atraksi unik di berbagai sudut jalan. Di
depan Museum Fatahilah, pengunjung bisa menemui atraksi manusia api dan atraksi
menghebohkan lainnya. Tak jarang orang berkerubung untuk mengabadikan foto
atraksi unik itu. Bergeser sedikit ke arah kiri Museum Fatahilah, kerumunan
semakin banyak. Ternyata ada sebuah atraksi melayang di atas tanah. Mereka
menamakan dirinya sebagai Street Human
Levitation.
Perhatian penonton langsung menuju ke arah orang yang sedang melakukan
aksi uniknya itu. Ia tengah duduk tanpa alas sambil membaca koran. Beberapa
menit kemudian, ia langsung berganti posisi dengan mengangkat kedua kakinya
sambil melayang di atas tanah. Penonton langsung mendekat untuk mencari tahu.
Adalah Jim, orang yang sedang melakukan aksi tidak biasanya itu. Ia
merupakan salah satu penggagas dari adanya Street
Human Levitation.
Ternyata, Komunitas Street Human
Levitation ini bermula dari the street art. Pada awalnya, ada street art
yang bernama humanoid manusia patung yang biasanya ada di Kota Tua juga. Karena
terkesan biasa, street human levitation hadir agar penonton bisa tertarik
memerhatikan aksi mencenangkannya itu.
“Kita ingin menampilkan sedikit trick dari the street art agar orang lebih suka. Dari terbentuknya Street Human Levitation, munculah
crowdeed dan euphoria,” ungkap Jim Akay (29) saat setelah melakukan aksi
melayangnya itu.
Jim bersama kedua temannya menjadi penggagas dari ide adanya human
levitation ini. Mereka juga yang sering membuat konsep trick untuk street art
itu sendiri. Mereka konsisten dalam memberikan hiburan jalanan untuk
pengunjung. “Daripada hiburan kurang positif, lebih baik hiburan unik yang bisa
berdampak positif juga,” ungkap Jim.
Pertunjukan di panggung tentu berbeda dengan pertunjukkan jalanan.
Teknik-teknik dalam pertunjukan yang ada di panggung masih bisa disiasati
karena jarak penonton dan atraktor yang jauh. Lain hal dengan pertunjukan jalanan.
Jarak antara penonton dan atraktornya bisa hanya dua meter. Karena street art
melakukan pertunjukan di jalan, Jim dan kawan-kawan terus mencari celah lubang
supaya penonton tetap tidak bisa memahami apa yang sedang mereka lakukan.
Jim sering membawa ide segar untuk komunitasnya ini. Setelah Street Human Levitation ini sudah menjamur di daerah Eropa maupun India, Jim dan
teman-temannya membawa hal baru di Indonesia ini. Mereka mengkombain pakaian
dengan kostum tokoh Indonesia dan segala hal yang berbau Indonesia.
Pertunjukkan yang tidak jarang menarik perhatian penonton ini baru
dilakukan di lingkungan Kota Tua. Kota Tua dipilih menjadi tempat
yang tepat sebagai lokasi untuk latihan, berkumpul, dan pertunjukkan. Setiap
Jumat-Sabtu-Minggu, pengunjung Kota Tua akan dikejutkan dengan atraksi melayang
di atas tanah oleh Street Human
Levitation ini. Sampai sekarang, ada empat orang berbeda yang melakukan
aksi melayang itu.
Saat melayang di tengah kerumunan, pengunjung tak jarang
menemui karakter yang berbeda-beda. Kalau hari Sabtu pengunjung melihat Michael
Jackson sedang melayang, hari Minggu pengunjung bisa melihat karakter yang lain
lagi. “Kadang kami menggunakan pakaian casual, maupun pakaian kantor. Kalau
meniru tokoh, kami sering ambil Michael Jackson dan Pangeran Diponegoro,”
ungkapnya.
Ada yang unik dari komunitas ini. Meskipun aksinya
kadangkala menyita waktu, Street Human
Levitation lebih mengutamakan untuk terus menggali keunikan dari karyanya
dibanding memikirkan materi. “Dalam street levitation ini, lebih baik terus
gali hal baru dan unik dibanding konsentrasi dengan materi. Nanti uang juga
datang sendiri,” katanya. Gelas aqua tempat pengunjung menaruh duit pun tak
jarang terisi penuh. Menurut Jim, kalau ada ide yang beda, maka orang bakal
datang dan mencarinya dengan sendiri.
Penghasilan dalam sehari tidak terlalu dikalkulasikan oleh Jim dan
kawan-kawan. “Sebenarnya nominal habis untuk materi sendiri, seperti makan,
beli rokok, dan lain-lain,” akunya.
Namun, ia masih memiliki tantangan pribadi dalam setiap
aksinya, yakni interaksi dari penonton dan mental. “Kadang, teman sendiri
sampai tidak mengenali saya,” ungkap Jim.
Untuk ke depan, Jim masih terus berusaha memikirkan ide yang tidak terbayangkan orang lain. Ia pun turut berharap agar pusat wisata kota Jakarta
itu terus diramaikan oleh pengunjung. “Kalau saya berharap Kota Tua ini sendiri
lebih banyak yang datang. Euphoria ada, liburan murah, dan tidak komersil
juga,” tutupnya.
Deasy Amalia
Dok. SHL