Di malam sepi, aku sendiri, hanya ditemani secangkir kopi setengah
dingin. Lagi-lagi aku buntu naluri imajinasiku lumpuh. Saat gelap tak lagi
bercerita dan siang tak lagi menyapa, aku kehilangan. Angin dingin mengiring hujan menemani
kesendirian di balik jendela ini, Agustus telah lama berlalu. Ini Desember.
Tapi sisa kenangan itu masih terselip begitu dekat. Namun, aku tak bisa
menerjemahkanya dalam tulisan ini. Ruang kosong tempat aku mengetik semakin
akrab dengan aroma kopi yang hampir dingin. Jika kau lihat seorang wanita
diluar meneriaki dan memaki bulan dengan sebutan bedebah. Tersembul dari mulutnya kumpulan asap tebal dengan aroma
minuman keras murahan yang di belinya di persimpangan jalan. Dia memuntahkan
amarahnya pada bulan dan itu membuyarkan lamunan kerasku tentang dia.
Dia? Ya itu dia, berlalu begitu saja meninggalkan seberkas kehidupan
nyata yang telah membusuk di relung hatiku. Bahkan tulisankupun terbengkalai.
Dia telah menorehkan luka cukup tajam di semak perasaan ini. Hingga aku terpaku
di jendela persimpangan ini. Aku menuliskannya dalam bentuk sebuah penantian.
Seperti mimpi, indah namun tak bisa diraba.
“Apa lagi yang harus kulakukan, haruskah kugapai bintang agar
menemukanmu?” keluhku lirih.
Kau pasti penasaran dia yang
sering aku sebutkan dalam kisah ini? Dia cantik antara satu sampai sepuluh aku
beri poin sembilan. Aku menolak mendeskripsikanya karena aku takut jika kau
bertemu dengan dia kau akan menyukainya juga. Maaf ini bukan soal aku mau
berbagi atau tidak, namun hanya saja dia telah bersarang dilubuk hatiku jauh
sebelum kau membaca kisah ini. Sudahlah aku tidak mau membahas dia, terlalu
pahit untuk kucicipi malam ini.
Imajinasiku kembali lumpuh, aku tak mampu menemukanya lagi. malam
terlalu dingin untuk ku nikmati. Suara perempuan tadi tak terdengar lagi.
“Gila! bahkan bulan pun bersembunyi dibalik kelabu pekat malam.”
Kulirik perempuan tadi, dia tertawa bahagia sambil menunjuk bulan yang telah
sirna. Sesekali dia melemparkan beberapa batu ke atas langit yang dia tunjukan
untuk bulan sambil meneriaki dengan makian yang sama.
“Pengecut, kenapa kau bersembunyi, kau takut? Aku hanya menantangmu
dan kau sudah lari dibalik awan itu!” Dia terus mengumpat lalu duduk dan
meminum minuman keras murahan itu.
“Hai kau!” Dia menunjukku.
“Iya kau yang sedang duduk di balik jendela itu!” Dia menghampiriku
perlahan mendekat ke jendela. Aku tersentak sedikit kaget namun aku mencoba
untuk tenang.
“Iya kau yang dari tadi mengawasiku!” Dia berkata sinis dibalik
kelabut udara di persimpangan ini, samar-samar kutatap wajahnya yang begitu
familiar. Matanya mengingatkanku pada seseorang sosok yang dari tadi ingin
kukembalikan dalam imajinasiku.
“Hei, hei, aku bicara padamu? Mengapa kau diam saja! Ah, susah ngomong
sama orang gila!” Dia pergi sambil jengkel tapi aku buru-buru menghentikanya.
“Tunggu!” Dia menoleh menunjuk
dirinya sendiri saat ku panggil dia menghampiriku lagi.
“Iya, mendekatlah aku seperti mengenalmu,” kataku, dia terheran dan
mendekat .
Aroma parfum bercampur minuman keras itu, begitu kental dalam
ingatanku. Tanpa sadar aku telah meraba wajahnya, bibir tipis lembut seperti
yang kukenal. Dia tak bergeming hanya menatapku kasihan. Kini hanya kesunyian
dalam gelap yang bicara.
“Kau telah lama kehilangan? Kehilangan kasih dari orang yang kau
cintai yah?” ucap wanita itu ringan. Aku mengangguk pelan. Begitu terpesonanya
aku, tanpa sadar mengucapkan sebuah nama, “Shabrina?”. Dia menatapku tak
bergeming. “bagaimana bisa kau tahu namaku?”. “benar itu kau Shabrina?, kemana
saja kau? Kau tahu aku sangat merindukanmu”.
“Shabrina siapa yang kau maksud? Banyak nama Shabrina di bumi ini,”
perkataanya begitu tegas memecah keheningan malam di persimpangan sepi
ini.
“Shabrina yang dulu sangat ku cintai dan dia amat mencintai bulan,” kataku
menjadi.
“Kau tidak lihat dari tadi aku memaki bulan , aku membenci bulan,
karena seorang lelaki yang pergi meninggalkanku, sendiri bersama bulan, dia
berjanji akan datang di padang bulan tapi ia tak kunjung datang, ah sudahlah
mengapa aku bercerita padamu.”
“Aku datang malam itu Shabrina, aku..,.”
“Siapa kau bicara seperti itu, aku tidak mengenalmu laki-laki gila!”
Dia menyela kalimat yang belum aku selesaikan.
“Aku, lelaki itu Shabrina. Anthony, kau ingat janji terakhir kita
bertemu di Padang bulan Agustus itu.”
Aku sedikit memberi penegasan pada kata-kata terakhir, tapi dia hanya tertawa
dalam sepi.
Tiba-tiba dia termenung, minuman keras yang di pegangnya jatuh, tetes
demi tetes air matanya mulai membasahi pipinya yang kemerahan.
“Kau jahat, kau tidak datang malam itu. Aku menunggumu cukup lama
bahkan sangat lama tapi kau tidak datang sampai akhirnya bulan pun tenggelam
kembali.” Makin deras tetesan air mata Shabrina, kini wajahnya tampak sedikit
jelas diterpa rembulan.
“Bukankah kau yang menghianati janji kita? Malam itu aku melihatmu
bersama seorang lelaki lain, kau tahu perasaanku saat itu Shabrina? Bahkan
terlalu menyakitkan untuk ku ingat,” ucapku. Dari raut mukanya dia tampak heran
tak mengerti apa yang aku ucapkan, dia kembali duduk di trotoar, dan aku tetap
memandanginya dari balik jendela ini.
“Hahahaha, begitu murahnya aku Anthony di matamu? Siapa lelaki yang
kau maksud? Cemburu telah membutakan hatimu!” jelas Shabrina
Malam telah larut bahkan suara
angin pun enggan menampakan dirinya. malam ini suasana malam makin kalut.
“Agustus malam itu ku pacu mobilku dengan perasaan bahagia karena aku
sangat ingin bertemu denganmu Shabrina sambil membawa cincin yang aku beli dari
hasil kerja kerasku, aku ingin melamarmu di saksikan oleh bulan dan para
bintang, tapi kau telah mengotori semuanya dengan tindakan penghianatanmu.
Malam itu kau bersama lelaki yang bahkan tak aku kenal, kau bisa bayangkan kan
betapa sakitnya perasaanku saat melihat gadis pujaannya bersama lelaki lain?”
jelasku padanya.
“Kau salah Anthony, aku bukan perempuan seperti itu. Kau salah paham,
dia hanya teman lama yang tidak sengaja bertemu. Waktu itu aku terjatuh hak
sepatuku tersangkut dan dia menangkapku,” dia berkata berurai air mata, tapi
rasa sakit itu masih tetap bernaung di hatiku.
“Kau harus percaya padaku Anthony.” Dia ambruk, air matanya begitu
tulus. Aku tidak kuat melihat dia menangis ragaku kaku sebagian tubuhku lemah,
“berhenti menangis Shabrina” dalam hatiku menjerit.
“Aku mencintaimu Anthony, namun kau lebih mencintai cemburumu di
banding aku dan membuatku seperti ini, aku membenci bulan karenamu,” dia
bergaya layaknya seorang yang tegar. Namun, aku tahu dia terjebak dalam
kerapuhan.
Aku gemetar bibirku tak sanggup mengatakan satu patah kata pun,
tubuhku lemah melihat dia menangis aku semakin sulit bergerak
“Maafkan aku Shabrina, aku terlalu mencintaimu sehingga aku tak mau
seorang laki-laki pun menyentuhmu, aku telah terluka oleh kecemburuanku sendiri
dan aku sadar aku salah paham setelah kau menjelaskan. Kini aku mengerti,
maafkan aku Shabrina”. Tak sanggup lagi aku menatap matanya yang indah itu.
Temaram bulan menerangi kedua sejoli yang sudah lama tidak
dipertemukan, kesalahpahaman telah memisahkan jalinan kasih diantara keduanya,
namun rasa cinta begitu besar. Sehingga cinta mempertemukan mereka
dipersimpangan jalan ini. Kini hanya sebatas jendela yang memisahkan mereka,
tidak membayangkan bertemu dalam keadaan seperti ini. Pelukan erat pun mewarnai
kerinduan antara Shabrina dan Anthony malam ini.
“Anthony, jangan lepaskan
pelukanmu, aku tak mau malam ini berakhir, aku tak mau membenci bulan lagi”.
“Tak akan pernah lagi Shabrina, kini imajinasiku tidak lagi lumpuh,”
ucapku dalam hati.
Giovani
Rahmathullah Rizal