Agus Budiyanto. Siapa tak kenal mahasiswa Jurusan Akuntansi kelahiran 3 Agustus 1992 ini? Pria Jawa yang menjelma menjadi sosok Ketua Umum Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Politeknik
Negeri Jakarta (PNJ) ini ternyata punya hal menarik untuk ditelisik. Mulai dari
Budi kecil ‘jail’ hingga perjalanan panjang mencari jati diri tentang sebuah
arti yang mengantarkannya memangku jabatan sebagai pemimpin para mahasiswa.
Putra pertama
pasangan Haryanto dan Fatikah yang lahir di Tegal hampir 21 tahun lalu ini
ternyata punya kebiasaan jail semasa kanak-kanak. Budi – begitu ia disapa –
pernah suatu hari melukai matanya sendiri karena petasan yang ia pasang di dalam selokan
tak kunjung meledak, petasaan tersebut baru meledak ketika ia melongok ke dalam
selokan. Dia juga pernah berurusan dengan pemuda yang tengah bermain karambol
hingga mendapat pukulan karena ternyata salah satu pemuda tersebut sedang
mabuk. Kakak dari Diantika Putri ini juga pernah merubuhkan susunan piramida
jeruk di pasar, karena jeruk bagian bawah sebagai pondasi ia tarik ketika
menemani ibunya yang tengah berbelanja.
Budi kecil
yang tumbuh menjadi remaja tanggung pun tak luput dari kenakalan remaja, pernah
bergaul dengan lingkungan yang kurang tepat, namun beruntung hal itu tidak berpengaruh
terhadap nilai akademiknya terbukti ia mampu masuk ke sekolah menengah favorit SMA 2 Cibinong.
Semasa SMA, ia menemukan kelompok pertemanan baru yang membawanya menjadi salah satu personil BAH Band (Burn After Hear Band) menjadi penabuh drum, loncat ke vocalis, hingga menjadi gitaris. Popularitas Bah Band terbukti dengan berbagai prestasi dan lagu mereka yang menjadi hits dikalangan remaja, terutama single dengan lirik berbahasa inggris yang diciptakan Budi. Kesuksesannya bersama Bah Band ternyata membuat kehadirannya dirindukan teman – teman lama, hingga akhirnya terjadi perkelahian yang menyebabkan tangan kanannya terluka karena salah memukul tembok dan akhirnya ia kesulitan untuk mengepalkan tangannya hingga kini.
Semasa SMA, ia menemukan kelompok pertemanan baru yang membawanya menjadi salah satu personil BAH Band (Burn After Hear Band) menjadi penabuh drum, loncat ke vocalis, hingga menjadi gitaris. Popularitas Bah Band terbukti dengan berbagai prestasi dan lagu mereka yang menjadi hits dikalangan remaja, terutama single dengan lirik berbahasa inggris yang diciptakan Budi. Kesuksesannya bersama Bah Band ternyata membuat kehadirannya dirindukan teman – teman lama, hingga akhirnya terjadi perkelahian yang menyebabkan tangan kanannya terluka karena salah memukul tembok dan akhirnya ia kesulitan untuk mengepalkan tangannya hingga kini.
Budi yang
ternyata seorang ketua kelas sewaktu kelas X SMA ini pernah mengalami hal
paling memalukan ketika ia dipecat dihadapan teman – temaannya dan digantikan
begitu saja dengan siswa lain, bukan hanya itu Budi yang awal di juruskan ke
IPS bersikukuh bahwa ia mampu menjadi anak jurusan IPA, Kegigihannya membawa ia
berani menyambangi kepala sekolah dan mengajukan argumentasi bahwa ia mampu
untuk mengikuti program belajar IPA. Hal ini ternyata tak sia – sia ia berhasil
mendapat jurusan IPA keinginannya.
Lama
berselang hingga di akhir masa SMA ia harus bersiap menghadapi ujian Saringan Nasional
Masuk Perguran Tinggi Negeri (SNMPTN) . Budi yang mengambil les tambahan di
Nurul Fikri dan mengikuti SNMPTN itu awal mengincar Universitas Indonesia
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik namun sayang setelah melakukan empat kali tes
usahanya tak membuahkan hasil yang ternyata hal tersebut mampu membuatnya
menangis dipangkuan ibunya. “Bagaimana bisa ia yang sudah berusaha lebih tidak
diterima, sedang seorang teman lainnya yang terkesan tidak niat dapat menembus
PTN sesuai pilihannya”. pikir Budi.
Sampai
akhirnya sang ibu memintanya agar mengikuti Ujian Masuk Politeknik Negeri
Jakarta (UMPN) dan memilih jurusan akuntansi yang tentu berbeda dengan
jurusannya sewaktu SMA. Menuruti saran sang ibu dan mendapat pencerahan dari
guru lesnya, ia pun mencoba UMPN, dan berhasil diterima dengan perjuangan yang
tak mudah tentunya.
PNJ Berbudi
Tak ada yang
tahu akan jadi seperti apa pria yang memiliki motto hidup ‘Biar urakan, sholat
tetap tak tertinggalkan’ ini. Berbekal kisah seorang teman yang sukses
berkuliah di PNJ awalnya Budi hanya bermimpi agar ia bisa pergi ke berbagai
daerah secara gratis, dan fotonya terpampang di baliho kampus, tapi siapa yang
menduga bahwa ia mampu mendapatkan lebih.
Budi yang
mencoba peruntungan menjadi panitia Pemilihan Raya (Pemira) 2011 sepertinya
mulai menemukan jalannya. Menjadi panitia dibeberapa kegiatan ia lakoni hingga
mimpinya yang pertama tercapi. Sekjen FKMPI (Forum Komunikasi Mahasiswa
Politeknik Se-Indonesia) PNJ tertarik pada semangat Budi, dan mengajaknya untuk
mengikuti Munas FKMPI di luar daerah, sampai pada pencalonan dirinya menjadi
ketua BEM 2012 pun mewujudkan mimpinya yang ke dua bukan hanya potongan foto
berukuran kecil yang ada di baliho kampus namun satu baliho penuh itu adalah
miliknya sendiri. Kini entah sudah berapa kali ia ke luar kota dan ada berapa
baliho yang memajang fotonya dibarisan awal, yang pasti hampir semua mimpinya
telah terwujud.
Menjadi
seorang ketua BEM mungkin bukan hal yang dapat diprediksi budi, menang telak
dari lawannya membuat popularitas Budi semakin meroket, jadi wajar saja banyak
mahasiswi yang mengelukan namanya. Selama meangku jabatan menjadi ketua BEM ia
berhasil melakukan lobi politik diantara membawa turun Johan Budi S.P menemui
mahasiswa untuk memberikan keterangan. Ditanya strategi keberhasilan membujuk
juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut ia hanya menjawab “Saya ga ada strategi yang gimana – gimana ya intinya komunikasi lah” .
Penyelenggaraan
Dies Natalies – perayaan HUT PNJ –
adalah salah satu buah percobaan Budi bersama rekannya di BEM Adhi Indra Kusuma
jurusan Teknik Grafika Penerbitan. Ramai dan selalu meriah para mahasiswa
mengenakan jakun dan bekeliling kesetiap jurusan hingga berhenti di lapangan
utama untuk mendengarkan orasi ketua BEM, dan MPM serta mendengarkan hak jawab
Direktur PNJ terhadap tuntutan mahasiswa, sayangnya Budi masih merasa ada yang
kurang dari hiruk pikuk perayaan tersebut “Sayangnya dalam Dies Natalies mereka
hanya sekedar korban semangat aja,
setelah itu lupa.” kegiatan ini diwujudkan Budi dan rekannya bertujuaan agar
para mahasiswa mencintai dan bangga terhadap kampus mereka sendiri.
Budi juga berpendapat
sebagai mahasiswa agar kita dapat bermanfaat bagi lingkungan masyarakat adalah,
kita harus memanfaatkan sarana yang ada di kampus, dan adapun sarana yang
dimaksud adalah berbagai Lembaga Formal Kemahasiswaan seperti MPM, BEM, HMJ,
dll dengan itu semua kita ibarat punya banyak tangan karena kita mampu
melakukan banyak hal, kita bisa membuat desa binaan, melakukan kontrol terhadap
pemerintah, membuat pergerakan, menggalang dana, dan menambah wawasan dengan
kajian. Sekedar ikut kepanitiaan itu juga termasuk bentuk aktualisasi kita
–Mahasiswa– untuk bermanfaat.
Ia
menambahkan karena setiap orang memiliki passion
tersendiri, dan tiap orang memiliki jalur kebermanfaatannya masing – masing,
yang terpenting mahasiswa harus menggunakan fungsi yang tersemat dalam diri
mereka. Bukan hanya sekedar berkuliah lalu pulang, yang sebenarnya memberi
pengajaran lebih adalah di ‘jalan juang’ semuanya memang butuh pengorbanan,
mahasiswa harus berani berkorban jangan egois dan itulah ‘totalitas
perjuangan’.
Budi tidak
bisa dikatakan baru dalam jalur perjuangan, sejak dulu ia terbilang aktif dan
memiliki banyak kegiatan jadi jangan salah berpikir bahwa sikapnya selama ini
adalah efek atau sekedar citra seorang ketua BEM, ia selalu berpesan kepada
rekannya di BEM bahwa sebagai pemuda kita memiliki pedang samurai yang bisa
kita gunakan untuk apa saja, lalu kenapa kita tidak memanfaatkan sampai ke
titik maksimal bukan hanya untuk sekedar memotong bawang. Jangan pula ditanya
soal identitasnya walau dulu begitu mendamba UI, dan IPB tapi kesetiaannya
telah terbukiti perjuangan dan loyalitasna menjadi ketua BEM hingga medekati
akhir masa jabatannya tak pernah ia sia – sia kan walau sibuk menyusun TA
(Tugas Akhir) ia masih sibuk mengurusi dana kemasiswaan yang mandek, mengajak
rekan lainnya mengusut langsung ke kementrian terkait, serta melakukan aksi
dalam rangkan 15 tahun Reformasi.
Hingga di
akhir sesi tanya jawab GEMA dengan Agus Budiyanto, ia memiliki pendapat lain
tentang mahasiswa pasif “It’s their own choice. Mungkin mereka punya cara
sendiri, yang jadi masalah, apakah mereka sudah terlalu nyaman dengan ini
semua? Apakah mereka terlalu egois dengan memikirkan kehidupannya saja? Saya
sih ENGGAK! Dan mudah – mudahan
mereka juga enggak” tuturnya singkat.
Budi yang
akan mengakhiri masa jabatannya ini memang belum sepenuhnya menuntaskan
mimpinya untuk PNJ. Akankah misi ini akan mampu diteruskan dengan pemimpin
mahasiswa yang baru? Entah tapi apapun itu mari kita dukung, dan tak lupa
memberi ucapan selamat bagi pemimpin yang telah berusaha memberikan yang
terbaik bagi para civitas PNJ yaitu Agus Budiyanto.
Naskah : Bunga Padma Putri
Foto : Dok. Budi
Naskah : Bunga Padma Putri
Foto : Dok. Budi
1 comments:
gue akuin diri gue sebagai mahasiswa pasif, tapi gue gak egois mikirin hidup gue sendiri karena setiap orang punya cara masing-masing untuk jadi orang yang berguna buat sesama, ga semata-mata harus jadi mahasiswa aktif kalau mau jadi orang yg berguna bagi sesama. Dan gue respect dengan pandangan Budi, ga semua mahasiswa pasif itu egois, mereka cuma punya cara yang beda dengan kalian-kalian mahasiswa aktif, peace.
Posting Komentar